Wednesday, February 14, 2007

Moral Exclusion dan Rokok

Oleh RR. Ardiningtiyas Pitaloka, M.Psi.**

Melihat perkembangan kebiasaan merokok Indonesia yang semakin lama semakin parah, nampaknya harapan untuk menanggulangi masalah ini semakin tipis, namun sebenarnya hal tersebut bukan tidak mungkin dilakukan karena beberapa negara telah menerapkan aturan cukup keras baik bagi para perokok maupun industri rokok. Singapura menerapkan ruang publik sebagai kawasan bebas rokok, mesin penjual rokok dinyatakan ilegal dan melarang perusahaan rokok menjadi sponsor even publik (Oskamp & Schultz, 1998)

Seorang konsultan WHO dan Australia, Dr. Matthew Allen, pada bulan April 2001 menyatakan bahwa tingginya tingkat rokok dan penerimaan terhadap rokok pasif merupakan hambatan utama dan pertama bagi penanggulangan masalah rokok di Indonesia. Allen menyatakan terdapat 7 (tujuh) hambatan bagi penanggulangan masalah rokok di Indonesia, yaitu;

1. Tidak adanya pengetahuan di kalangan perokok tentang resiko merokok

2. Tidak cukupnya pengetahuan badan-badan pemerintah dan LSM, yaitu pengendalian rokok bagi kesehatan dan perekonomian, serta taktik-taktik menyesatkan yang dipakai oleh industri rokok

3. Tidak adanya komitmen oleh para politisi dan departemen pemerintah

4. Adanya kerancuan wewenang Badan Pengawasan Obat dan Makanan (POM) dan Departemen Kesehatan dan Departemen Kesejahteraan Sosial

5. Kuatnya sektor industri rokok

6. Desentralisasi dan tidak adanya kerangka kerja di daerah untuk mengimplementasikan perangkat pengendalian rokok

7. Tak ada dana untuk membuat kampanye tandingan dan program pengendalian lainnya. (Kompas, 2001)


Negara-negara Unieropa mencanangkan kampanye anti rokok dengan slogan; “Feel Free to Say No!” yang diluncurkan bertepatan dengan momen piala dunia 2002 serta didukung sejumlah pemain bola terkenal seperti Luis Figo, Zinadine Zidane, Paolo Maldini,dll. Sementara dalam peringatan Hari Tanpa Tembakau sedunia (31 Mei 2002), Meksiko mengumumkan akan melarang semua iklan rokok dari radio dan televisi mulai 2003. Secara perlahan-lahan penjualan rokok di toko-toko obat akan dikurangi dan peringatan bahwa bahaya rokok akan diwajibkan untuk dipasang di depan, bukan di belakang seperti sekarang. (Kompas, 2002)


Jurus Kelit Industri Rokok

Bagaimana perokok dan industri rokok dapat terus ‘hidup’ dan berkembang mengambil ruang gerak dan nafas di Indonesia ?


Moral Exclusion

Jika moral berada dalam ruang keadilan, moral exclusion sangat berbeda (kontras), yang merupakan rasionalisasi, jastifikasi kesalahan atau sesuatu yang membahayakan. Dalam konflik lingkungan, moral exclusion sulit untuk dideteksi, hal ini disebabkan juga oleh adanya dukungan konvensi sosial. Analisa gejala moral exclusion dalam konflik lingkungan mengindikasikan bahwa moral exclusion dapat digolongkan dalam tiga bentuk penyangkalan (denial); simptom moral exclusion, yaitu;

1. Outcome Severity (hasil rumit)

a. disbenefit (kerugian berat); pihak tertentu (negara atau perusahaan) menolak penanggulangan masalah tertentu dengan berkelit hal tersebut dapat mendatangkan kerugian besar

b. sains; memanfaatkan sains untuk tujuan tertentu, menjadikan sains sebagai alasan, misalnya perlunya waktu untuk meneliti masalah tertentu.

2. Stakeholder

a. outsider; menempatkan diri pada pihak lawan (contoh; menganggap peraturan sebagai lawan)

b. ekstrimis; pihak yang menetang sesuatu secara radikal

3. Keterlibatan Diri

a. self exclusion; mengelak tanggung jawab personal (contoh; “Bukan hanya saya yang merokok di ruang ini.")

b. Reluctant participation; pihak tertentu menolak berpartisipasi dalam penanggulangan masalah polusi udara namun tetap menggunakan alasan kemanusiaan dalam usahanya (contoh; industri rokok menjadi sponsor even olahraga) (Opotow & Weiss, 2000)


Riset dalam Psikologi Sosial Seputar Perilaku Merokok

Tahapan seseorang menjadi perokok tetap (Laventhal & Cleary;1980, Flay;1993);

1. Persiapan; sebelum seseorang mencoba rokok, melibatkan perkembangan perilaku dan intensi tentang merokok dan bayangan tentang seperti apa rokok itu.

2. Inisiasi (initiation); reaksi tubuh saat seseorang mencoba rokok pertama kali berupa batuk, berkeringat. (Sayangnya hal ini sebagian besar diabaikan dan semakin mendorong perilaku adaptasi terhadap rokok)

3. Menjadi perokok; melibatkan suatu proses ‘concept formation’ , seseorang belajar kapan dan bagaimana merokok dan memasukkan aturan-aturan perokok ke dalam konsep dirinya.

4. Perokok tetap; terjadi saat faktor psikologi dan mekanisme biologis bergabung yang semakin mendorong perilaku merokok.


Faktor Psikologis;

1. Kebiasaan (terlepas dari motif positif atau negatif)

2. Untuk menghasilkan reaksi emosi positif (kenikmatan, dsb)

3. Untuk mengurangi reaksi emosi negatif (cemas, tegang, dsb)

4. Alasan sosial (penerimaan kelompok)

5. Ketergantungan (memenuhi keinginan/ kebutuhan dari dalam diri) (Oskamp & Schultz, 1998)


Proses Biologis

Nikotin diterima reseptor asetilkotin-nikotinik yang kemudian membagi ke jalur imbalan dan jalur adrenergenik. Pada jalur imbalan, perokok akan merasakan nikmat, memacu sistem dopaminergik. Hasilnya perokok akan merasa lebih tenang, daya pikir serasa lebih cemerlang, dan mampu menekan rasa lapar. Di jalur adrenergik, zat ini akan mengaktifkan sistem adrenergik pada bagian otak lokus seruleus yang mengeluarkan sorotin. Meningkatnya sorotin menimbulkan rangsangan rasa senang sekaligus keinginan mencari rokok lagi. Hal inilah yang menyebabkan perokok sangat sulit meninggalkan rokok, karena sudah ketergantungan pada nikotin. Ketika ia berhenti merokok rasa nikmat yang diperolehnya akan berkurang. (Mu’tadin, 2002)


Lemahnya kesadaran dan pengetahuan perokok

Kompleksnya permasalahan rokok di dunia termasuk Indonesia, ditambah kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat Indonesia membuka peluang pihak tertentu untuk mencuri kesempatan dengan memanfaatkan slogan-slogan semu dan menjadi sponsor even publik termasuk even olahraga. Baik industri rokok maupun perokok menggunakan apa yang disebut sebagai simptom moral exclusion, yaitu rasionalisasi, jastifikasi atau dengan bahasa awam mengatasnamakan kemanusiaan untuk menghalalkan perilaku mereka. Dengan begitu, mereka juga menyamarkan ‘kesalahan’ dan ‘penyebaran racun’ yang dilakukan.

Industri rokok mempunyai kekuatan finansial sangat besar untuk membuat propaganda, iklan dibuat sedemikian rupa sehingga tanpa menampilkan orang merokok, kini masyarakat sudah dapat menebak iklan rokok melalui image berupa gambar pemandangan alam, petualangan ber-safari di alam terbuka, sampai dengan suasana club disko.

Ironisnya, iklan rokok berisi pemandangan yang menyajikan keindahan alam, kebugaran, kesuksesan, sementara rokok itu sendiri menyebabkan polusi yang merusak keindahan, merusak kesehatan. Industri rokok menjadi sponsor utama berbagai tayangan olahraga di televisi, menawarkan beasiswa bagi pelajar berprestasi, sungguh suatu ironi yang tidak disadari atau tidak diacuhkan masyarakat Indonesia. Tindakan-tindakan tersebut merupakan bentuk penyangkalan merupakan simptom moral exclusion.

Sementara industri rokok bersembunyi dibalik berbagai slogan ‘mulia’ nya, perokok pun tidak ketinggalan menggunakan strategi penyangkalan serupa. Ruang publik menjadi senjata bagi perokok untuk berkelit, ”Tempat umum kok, saya punya hak,” dan ungkapan serupa tanpa menyadari bahwa orang lain (bukan perokok) juga mempunyai hak yang sama akan udara, terutama udara bersih.


Tempat Merokok = Mencerminkan Pola Perilaku Perokok

Tempat merokok juga mencerminkan pola perilaku perokok. Berdasarkan tempat-tempat dimana seseorang menghisap rokok, kita dapat mengenali siapakah perokok tersebut dari pola perilakunya dalam merokok.
1. Merokok di ruang publik

- Kelompok homogen (sesama perokok); Umumya masih menghargai orang lain, karena itu mereka menempatkan diri di smoking area.

- Kelompok heterogen (merokok ditengah orang lain yang tidak merokok); Tergolong sebagai orang yang tidak berperasaan, kurang etis dan tidak mempunyai tata krama. Bertindak kurang terpuji, tercela dan kurang sopan, dan secara tersamar mereka tega menyebar “racun” pada orang lain yang tidak bersalah.

2. Merokok di tempat bersifat pribadi

- kantor atau kamar tidur pribadi; tergolong individu yang kurang menjaga kebersihan diri, penuh dengan rasa gellisah yang mencekam

- toilet; tergolong orang suka berfantasi. (Mu’tadin,2002)


==> Mau merokok dimana saja emang hak asasi setiap manusia yang merokok (perokok), namun hak manusia lain juga (baca:perokok pasif) untuk mendapatkan udara yang bersih, bebas dari sumpeknya asap rokok. Susah euy cari tempat2 umum yang terbebas dari yang namanya “ASAP ROKOK”, sudah sangat sulitkah menemukan orang2 yang ber”empati” dengan keadaan orang lain? Walau pemerintah udah buat berbagai peraturan tentang masalah rokok juga sama aja, kalau perokoknya sendiri masih mentingin diri sendiri. So, pemerintah harus disiplin dan konsisten, kampanye anti rokok juga diperbanyak, moga pemerintah Indonesia bisa lebih tegas, tegas dan tegas lagi terhadap perokok..terutama di public area. Wahai para perokok sejagad raya, jangan menyebar racun deh ke kita2 yang ndak merokok ini… !!



1 Comments:

At 10/10/09, 7:25 AM , Blogger bertha said...

trus cara nanggulangin rokok apa donk....?

 

Post a Comment

Ayo-ayo tanggapin :) makasih yah..

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home